Eko Sulistyo

 

Reportasejakarta.com – Jakarta, 9 September 2020

Pernyataan Ketua Bidang Politik dan Keamanan DPP PDIP Puan Maharani mengenai Pancasila dan Sumatera Barat menuai polemik. Polemik ini disebabkan karena masing-masing pihak menggunakan cara pandang dan pendekatan yang didasari pada kepentingan politik dalam momen pilkada. Polemik juga mengusik sentimen nasionalisme dan peran historis tokoh-tokoh dari Bumi Minangkabau dalam perjuangan bangsa.

Tulisan ini tidak akan menanggapi polemik tersebut. Tulisan ini hanya ingin mengingatkan kembali peran tokoh-tokoh Minangkabau dalam pembentukkan pondasi strategis bangsa. Mereka dikenal sebagai “anak-anak surau” dari Minangkabau yang dalam perantauannya menuntut ilmu, berorganisasi, lalu menjadi penggerak utama pergerakan kebangsaan dan pembentukan nasionalisme Indonesia.

Dalam fase awal pembentukan negara Republik Indonesia, beberapa tokoh pergerakan ini telah memberi kontribusi strategis dalam penyusunan konstitusi UUD 1945, kesepatakan tentang dasar negara Pancasila dan mempertahankan persatuan bangsa. Ketiga pondasi ini tentu merupakan kontribusi kolektif banyak pihak, tapi sejarah mencatat ide-ide pokoknya datang dari para tokoh mantan anak surau dari Minangkabau.

Hatta dan Pancasila

Soekarno adalah penggagas utama Pancasila seperti dinyatakan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPK). Konstitusi yang disyahkan pasca proklamasi kemerdekaan adalah kesepakatan yang diambil oleh para elit gerakan nasionalis Indonesia dalam BPUPK pada April 1945.

Namun perumusan Pancasila belum mendapatkan kesepakatan bulat karena ada yang menghendaki Piagam Jakarta menjadi rumusan Pancasila. Di tengah kebuntuan inilah Mohamad Hatta mengambil peranan penting untuk membuat kesepakatan guna menerima Pancasila seperti yang sekarang ini.

Pada 7 Agustus 1945, pemerintah Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menggantikan BPUPK dengan Soekarno sebagai Ketua dan Hatta sebagai Wakil Ketua. Pada 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta membacakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Jakarta. Pada 18 Agustus 1945 diadakan sidang PPKI beranggotkan 27 orang guna membicarakan perubahan dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945.

Salah satu perdebatan yang tak kunjung selesai adalah di sekitar usulan kelompok pendukung Piagam Jakarta. Hatta lalu menyampaikan empat usul perubahan yang menurutnya “Inilah perubahan yang maha penting menyatukan segala bangsa.” (Anshari, 1983).
Perubahan pertama adalah kata “Mukaddimah” diganti dengan “Pembukaan”. Tiga perubahan lainnya menjadi penting dalam pondasi negara konstitusional demokratis.

Dalam Preambule Piagam Jakarta, anak kalimat, “Berdasarkan kepada Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “berdasar atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Sementara pasal 6 ayat 1 dari draft UUD diubah dari “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam” dicoret. Sejalan dengan perubahan yang kedua diatas maka pasal 29 ayat 1 menjadi “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti “Negara bersasarkan Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syaria’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

PPKI menerima dengan bulat teks perubahan preambule dan batang tubuh UUD yang dimajukan oleh Hatta yang kemudian dikenal dengan UUD 1945. Soekarno menyatakan bahwa UUD ini adalah bersifat sementara karena dibuat secara kilat. “Nanti kalau kita telah bernegara dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang yang lebih lengkap dan sempurna.”

Ucapan Soekarno ini akhirnya terwujud dengan dibentuknya Dewan Konstituante sebagai hasil Pemilu 1955 dan dilantik pada 1956 untuk mengubah dan menyempurnakan UUD 1945, termasuk membawa kembali perdebatan Piagam Jakarta ke dalam perdebatan konstituante.

Atas peran yang diambil Hatta, menurut Adnan Buyung Nasution (1995), Hatta telah meletakkan dasar utama negara demokrasi konstitusional yang di dalamnya memuat elemen-elemen dasar hukum, demokrasi, dan HAM. Hatta juga telah berperan besar dalam menyelesaikan konflik ideologis yang terjadi ketika UUD 1945 dirumuskan, terutama terkait perdebatan tentang keberadaan Piagam Jakarta.

Konsolidasi Negara Kesatuan

Pasca proklamasi 17 Agustus 1945, Republik Indonesia menghadapi dua tantangan akibat agresi militer Belanda ke Indonesia (1947-1949). Pertama, politik pecah belah Belanda melalui pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS), dimana negara Indonesia diubah menjadi federasi yang dipaksakan. Kedua, ditahannya para pemimpin negara seperti Soekarno dan Hatta oleh Belanda. Kepemimpinan republik menjadi penting untuk menunjukan eksistensi sebuah negara merdeka.

Dalam negara RIS yang dibentuk pada 27 Desember 1949 sebagai hasil kesepatakan Koferensi Meja Bundar, Indonesia terbagi menjadi 16 negara bagian. Salah satu negaranya adalah Republik Indonesia yang memiliki wilayah di Yogyakarta. Seorang putra Minangkabau, Assaat Dt. Mudo diangkat menjadi pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia karena Soekarno-Hatta menjadi Presiden dan Perdana Menteri RIS. Jabatan Assaat belangsung selama 7 bulan karena pembubaran RIS pada Juli 1950.

RIS adalah skenario pecah belah Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Pendirian RIS kemudian ditolak oleh rakyat di 16 negara bagian melalu aksi-aksi menuntut kembali negara kesatuan. RIS juga ditolak oleh para pimpinan bangsa.

Salah satunya adalah Mohammad Natsir, ketua Fraksi Masjumi yang merupakan salah satu fraksi terbesar di parlemen. Pada 3 April 1950, Natsir mengajukan “Mosi Integral” di Parlemen yang menyatakan bahwa masing-masing negara bagian merupakan bagian integral dari negara kesatuan (Lukman Hakiem, 2019).

Mosi ini mendapat dukungan dari pimpinan fraksi lainnya termasuk dari fraksi PKI. Mosi diterima baik oleh pemerintah, dan Perdana Menteri RIS Hatta menegaskan akan menggunakan Mosi Integral sebagai pedoman dalam memecahkan persoalan pembentukan negara RIS.

Pada 19 Mei 1950, Hatta dan Perdana Menteri Republik Indonesia Abdul Halim menyepakati pembubaran RIS untuk membentuk negara baru yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pada 15 Agustus 1950, Soekarno menandatangani UUD Sementara Republik Indonesia atau UUDS 1950. Dua hari kemudian, bertepatan dengan peringatan lima tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia, RIS secara resmi dibubarkan dan Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan. Jasa besar Natsir untuk menjaga keutuhan bangsa Indonesia dan menjaga tetap tegaknya NKRI, adalah upaya untuk menangkal potensi disintegrasi bangsa.

Meskipun perjuangan dan konsensus politik bangsa adalah proses kerjasama antar kelompok dan banyak orang, tapi peranan menonjol dari beberapa putra Miangkabau dalam proses tersebut adalah fakta sejarah. Dengan sejarah para pemimpin Minangkabau di awal kemerdekaan untuk mengawal Pancasila dan NKRI merupakan fakta sejarah dalam pembentukan bangsa dan negara Indonesia yang kita nikmati sekarang.

———-
Penulis adalah Sejarawan dan Deputi di Kantor Staf Presiden (2015-2019).0

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *