REPORTASE  JAKARTA

  • SIGI — Jumat, 20 Januari 2023, Indonesia masuk sebagai salah satu negara rentan bencana alam. Berdasarkan The World
    Risk Index tahun 2022, Indonesia berada di peringkat ke-3 dari 35 negara paling rentan terhadap bencana alam. Data dari BNPB menyebut, sepanjang tahun 2022 ada 3.531 bencana alam terjadi di Indonesia, dengan bencana terbanyak adalah banjir, longsor, kebakaran hutan dan lahan gambut, gempa bumi, dan abrasi.
    Bencana alam di Indonesia terjadi bukan hanya akibat perubahan iklim tapi juga aktivitas ekonomi konvensional yang masih mengabaikan kelestarian lingkungan. Padahal, dampak
    bencana alam, khususnya kebakaran hutan menyebabkan kerugian hingga Rp 269 juta per hektar.
    Sebagai upaya pencegahan, 9 kabupaten anggota Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) berkomitmen melakukan mitigasi bencana yang lebih holistik berbasis konservasi ekosistem
    dan tata ruang. Pemerintah daerah, swasta, akademisi, sipil, kaum muda dapat terlibat dalam upaya mitigasi bencana berbasis konservasi ekosistem dan tata ruang. Kolaborasi multipihak
    ini dapat melahirkan penanganan kebencanaan yang lebih berkelanjutan untuk memastikan
    kesejahteraan masyarakat. Penanganan kebencanaan yang efektif perlu menyesuaikan dengan fungsi ekologis daerah dan memperhitungkan basis kearifan lokal. Gita Syahrani, Kepala Sekretariat LTKL mengatakan pencegahan untuk mengurangi kerugian
    dari bencana tidak dapat dipikirkan sendiri. “Kita butuh menerapkan prinsip gotong royong yang bukan hanya di atas kertas, tapi juga melihat tujuan bersama, pembagian peran yang
    adil, dan fungsi perangkai gotong royong,” ujar Gita, Jumat (20/01/2023) dalam Konferensi Nasional Jurnalis Lingkungan Hidup yang berlangsung di Depok, Jawa Barat. Beberapa upaya dilakukan anggota LTKL salah satunya oleh Kabupaten Sigi yang memiliki
    visi Sigi Hijau. Kabupaten Sigi berkomitmen melanjutkan pembangunan berkelanjutan
    berbasis mitigasi bencana. Sigi mengupayakan strategi mitigasi di antaranya, pertama melakukan penataan ruang sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten dengan
    menata lahan penduduk serta perizinan lokasi sesuai RTRW Kabupaten; kedua, melakukan
    reformasi lahan kritis melalui penanaman bambu baik dalam kawasan hutan melalui
    perhutanan sosial maupun di luar kawasan hutan dengan memanfaatkan bambu untuk energi
    terbarukan biomassa, untuk UKM, serta untuk mewujudkan landmark arsitektural; ketiga,
    meningkatkan kesiapsiagaan tanggap bencana, membina dan membentuk kelompok

  • masyarakat terhadap peduli bencana.
Perda Sigi Hijau terbentuk sesaat setelah likuifaksi terjadi pada 2018 dan menjadi payung besar pembangunan Kabupaten Sigi. Dengan begitu, pembangunan daerah Sigi menjadi lebih ramah sosial dan ramah lingkungan.

“Jauh sebelum kabupaten Sigi terbentuk, masyarakat sudah paham dengan kondisi
lingkungannya, bahkan ditetapkan memiliki kawasan konservasi hutan lindung yang luas.
Pilihan menjadi kabupaten lestari dan kabupaten hijau, karena kondisi alam kita dilewat sesar
Palu-Koro dan memiliki kawasan konservasi, tapi di satu sisi kami ingin masyarakat juga
secara ekonomi bisa menyekolahkan anaknya dan makan dengan baik dan berkelanjutan
dengan mengusung ekonomi kerakyatan,” kata Mohamad Afit Lamakarate, ST, M,Si., Kepala
Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sigi, selaku perwakilan dari Kabupaten Sigi, Jumat
(20/01/2023).
Afit menambahkan, Sigi memperkuat tata ruang untuk memetakan potensi-potensi
kegempaan, rawan bencana. Selain itu, Sigi juga mendorong kebijakan yang dapat memitigasi
bencana dan mendorong masyarakat agar memiliki kemampuan dan lebih mandiri untuk
mengembangkan ekonominya.
Perda ini juga diperkuat dengan pembentukan forum multipihak sebagai wadah untuk
mendorong penguatan koordinasi, integrasi, sinkronisasi, sinergitas, dan kerjasama di antara
pemangku kepentingan di Sigi, salah satunya dengan melibatkan Yayasan Kompas Peduli
Hutan (KOMIU) dan Jejak.in.
KOMIU ikut terlibat menjalankan berbagai konservasi dan mitigasi bencana bersama
komunitas desa di Kabupaten Sigi, Donggala, dan Poso. Salah satu upaya mitigasi yang
dilakukan di antaranya, melakukan inventarisasi pohon di Hutan Ranjuri yang berada di Desa
Beka, Kecamatan Marawola, Kabupaten Sigi. Kegiatan inventarisasi ini bertujuan untuk
mengidentifikasi jenis-jenis pohon yang ada di Hutan Ranjuri khususnya jenis Dracontomelon
Mangiferum yang merupakan salah satu jenis pohon asal Sulawesi yang keberadaanya
sangat langka. Kearifan lokal masyarakat suku Kaili, meyakini pohon ini mampu menahan
dampak bencana alam seperti banjir dan likuifaksi akibat gempa bumi yang dipicu oleh
patahan Palu – Koro.
Dalam proses penanaman hutan, KOMIU dan Kabupaten Sigi juga menggandeng
perusahaan rintisan Jejak.in yang merupakan salah satu mitra utama LTKL. Melalui teknologi
Jejak.in setiap individu maupun organisasi dapat terlibat dalam pengimbangan karbon.
Partisipasi ini dapat dilakukan sesederhana dengan menghitung jumlah jejak karbon yang kita
hasilkan dari aktivitas sehari-hari, dan mengimbanginya dengan mengadopsi pohon serta
kredit karbon.
“Di Jejakin, kami menghadirkan platform monitoring, reporting, dan verification yang kemudian
digunakan untuk melakukan inventarisasi pohon yang ada di hutan Ranjuri, kabupaten Sigi.
Pohon-pohon ini kemudian kami buatkan program adopsi di dalam marketplace kami,
sehingga masyarakat di Indonesia dapat berkontribusi langsung dengan melakukan adopsi
pohon di daerah Kabupaten Sigi ini, setelah mereka melakukan perhitungan emisi melalui
kalkulator karbon yang kami miliki.” , kata Arfan Arlanda, CEO dan pendiri Jejakin.
Sejalan dengan upaya Sigi, pemerintah pusat melalui Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional (BAPPENAS) telah mengembangkan inisiatif dalam bentuk Indikator
Yurisdiksi Berkelanjutan. Indikator ini sebagai bentuk implementasi Narasi Yurisdiksi
Berkelanjutan yang tercantum di dalam Perpres 18/2020 tentang RPJMN 2020 – 2024, TPB
(terutama TPB 2), dan Principles for Sustainable Investment in Agriculture and Food System
(FAO, 2014).
Pendekatan Yurisdiksi Berkelanjutan ini memiliki dua tujuan utama. Pertama, sebagai sebuah
indikator dari pemerintah nasional yang membantu menerjemahkan kebutuhan pasar global.

Kedua, berfungsi sebagai ‘alat’ bagi daerah agar dapat mempromosikan portofolionya
sehingga dapat mengakses investasi berkelanjutan.1
Gita menambahkan Pendekatan Yurisdiksi Berkelanjutan dan mitigasi berbasis konservasi
ekosistem dan tata ruang sejalan dengan visi ekonomi lestari yang diusung oleh LTKL. Visi
ini diterjemahkan dari Target Deklarasi 2030 dari anggota LTKL untuk melindungi dan
mengembalikan fungsi hutan dan gambut serta ekosistem penting lainnya di wilayah
administrasi kabupaten anggota dengan berbagai cara inovatif yang meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
“Visi Ekonomi Lestari bisa jadi jembatan antara target lingkungan dan ekonomi karena
menitikberatkan pada solusi bisnis lestari melalui peningkatan nilai tambah produk & jasa lokal
yang ramah lingkungan dan ramah sosial dengan gotong royong. Sejak diluncurkan tahun
2020 ini, pendekatan tersebut sudah memberikan argumen baru untuk upaya konservasi dan
secara konkrit menawarkan kesempatan untuk lebih dari 100 kawan muda di 9 kabupaten
anggota buat ikut bekerja dan berkarya” papar Gita.
Beberapa faktor kunci yang memegang peranan penting dalam Visi Ekonomi Lestari adalah
pemetaan sumber daya manusia lokal yang akan menjadi penggerak dalam proses perjalanan
implementasi inovasi ini, serta pemetaan potensi hilirisasi yang mampu mempertemukan
antara potensi dengan prospek dan permintaan pasar.

Tentang Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL)
LTKL adalah asosiasi pemerintah kabupaten untuk mewujudkan pembangunan yang menjaga
lingkungan dan mensejahterakan masyarakat melalui gotong royong multipihak. LTKL yang merupakan kaukus pembangunan lestari dari APKASI (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Indonesia) memiliki 9 kabupaten anggota aktif dan 26 jejaring mitra utama baik di tingkat lokal maupun nasional.
Sebagai sebuah forum, LTKL diharapkan dapat mendukung upaya kabupaten dalam mewujudkan visi
kabupaten lestari dengan indikator kunci meningkatkan pendapatan daerah, menurunkan angka
kemiskinan dan mempersiapkan arah pembangunan untuk penurunan laju deforestasi sesuai dengan
arah kebijakan nasional. LTKL diharapkan menjadi wadah bagi para pemimpin daerah untuk
berkolaborasi serta berbagi pengetahuan dalam upaya mencapai visi kabupaten lestari di daerahnya.

(Red/Larty).

 

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *