Kebenaran mutlak sumbernya adalah kitab suci. Klaim kebenaran yang bersumber dari kitab suci tidak akan berubah dan tidak terpengaruh oleh faktor lain apapun. Makanya konsep Trinitas adalah sebuah klaim kebenaran yang sifatnya mutlak karena bersumber pada kitab suci (Alkitab). Salah satu kebenaran relatif, adalah kebenaran rasional yang bersumber pada indera yang kemudian menghasilkan kebenaran empirik. Ia akan berubah jika terjadi pengamatan yang berbeda, hal ini sesungguhnya yang disebut dengan pengaruh faktor lain. Disini kita berhenti membahas kebenaran yang mutlak sifatnya. Kesalahan yang terjadi pada buku PPKn, terbitan Kemendikbud, secara subtansi yang tertulis pada buku itu harus dinyatakan salah dan segera para pihak yang berwenang menariknya dari peredarannya, karena tentu ada banyak kemungkinan bias interpretasi” yang berdampak pada kerukunan hidup umat beragama, ditengah-tengah usaha kita semua untuk mengedepankan “Konsep Moderasi Beragama” di Indonesia. Saya ingin melanjutkan sedikit ulasan saya terkait “relativitas kebenaran” yang dalam perspektif orang kebanyakan sering disalah tafsirkan, dan sering juga menganggap sebagai “kebenaran yang mutlak” walaupun berasal dari sumber-sumber yang sifatnya rasional. Kebenaran adalah persesuaian antara pengetahuan dan objek (dikutip dari laman Wikipedia Indonesia), artinya ada persesuaian antara yang diketahui (pengetahuan) dengan kondisi real (dalam hal ini objek) yang menjadi konsep pembenaran.
Filsuf yang mendahului konsep ini adalah Rene Descartes anak dari Joachim-Descartes. Seorang filsuf dengan “aliran rasionalisme keras” yang mengembangkan paradigma Cogito Ergo Sum (1596-1650), barulah kemudian muncul Baruch De Spinoza atau Benedictus de Spinoza (1632-1677), Lebniz dan para filsuf lainnya yang mengembangkan pemikiran rasional Renatus Cartesian (Rene Descartes). Intinya mereka mengembangkan kebenaran yang sifatnya rasional dengan filsafat rasionalismenya. René Descartes adalah pendukung utama teori kebenaran dalam kaitan dengan kebenaran yang sifatnya “korespondensi”, salah satu sifat lainnya. Kata Descartes “Saya tidak pernah memiliki keraguan tentang kebenaran, karena tampak bahwa gagasannya sangat jelas secara transendental sehingga tidak ada yang bisa mengabaikannya. “Kebenaran’ dalam arti sempit menunjukkan kesesuaian pikiran dengan objeknya”, bahkan Immanuel Kant cenderung menyetujui dan mendukung kebenaran ini. Kebenaran korespondensi (Correspondence of Truth) menurut Descartes adalah yang paling awal dan paling tua yang berangkat dari teori pengetahuan Aristoteles. Dalam konsepnya dikatakan bahwa segala sesuatu yang kita ketahui dapat dikembalikan pada realitas yang dikenal oleh subjek, atau dengan kata lain bahwa suatu proposisi bemilai benar apabila saling berkesesuaian dengan realitasnya
Ada hal yang saya kira menarik dari kasus buku diatas yang bisa saja terkait dengan kebenaran menurut subjek (penulis), hal ini berkaitan dengan sebuah teori kebenaran yang dinamakan kebenaran Inherensi (Inherent Theory of Truth), kebenaran dalam teori ini sering disebut dengan teori pragmatis. Pandangannya bahwa suatu proposisi bernilai benar apabila mempunyai konsekuensi, dan dapat digunakan atau memiliki asas manfaat. Ukuran yang digunakan sebuah atau satu konsekuensi, atau proposisi yang digunakan dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian yang memuaskan, baik pada pengalaman maupun pernyataan itu sendiri yang bernilai benar (proposisi yang benar). Saya kira agak masuk dalam alur logis juga bila penulis ada dalam pandangan seperti ini, artinya dia tidak lagi menggunakan kebenaran mutlak yang sumbernya dari kita suci. Diskursus tentang kebenaran dalam ranah filsafat sudah dimulai sejak Plato dan diteruskan oleh Aristoteles. Plato melalui metode dialog dan telah membangun teori yang relatif lengkap sebagai teori pengetahuan awal, lalu kemudian teori pengetahuan itu terus berkembang dan mendapatkan berbagai bentuk penyempurnaan sampai masa kini. Artinya bahwa kita tidak dalam poisisi mencari kebenaran dalam konteks perkembangan filsafat, harus lebih dari itu bahwa dalam kerangka menjaga kehidupan yang lebih bermakna, maka dibutuhkan pengetahuan dengan kerangka berpikir yang lebih maju melalui metode dialog yang sebetulnya telah dikembangkan oleh Plato, dalam usaha membangun peradaban yang lebih baik.
Berbuat kesalahan adalah kekurangan manusia, namun belajar dari kesalahan adalah kelebihan manusia. Bersyukurlah atas kesalahanmu, karena banyak orang akan mengajarimu pengetahuan yang berharga, dan dari sebuah kesalahan kita akan menemukan “kebenaran.” Penulis adalah : Pembina YPTKSW Salatiga (RED/LR).