Reportasejakarta.com-Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irjen Pol (Purn) Ansyaad Mbai, menyoroti rencana penerbitan Perpres Pelibatan TNI itu adalah turunan dari UU Nomor 5 ini. Sebagai turunan, perpres ini tidak boleh keluar dari koridor UU Nomor 5, tidak boleh keluar dari criminal justice system.

Ia mengatakan, terorisne adalah kejahatan yang harus dibawa ke pengadilan. Prinsip dasar yang digunakan Indonesia dalam melihat tindak terorisme,” ucapnya.

“Itu prinsip dasar yang kita gunakan sampai saat ini dan itu mengalir menjadi prinsip referensi utama dari peumusan undang-undang sampai dengan undang-undang TNI sendiri,” kata Ansyaad dalam webinar “Pelibatan TNI dalam Kontra Terorisme” yang digelar Marapi dengan Universitas Udayana, Sabtu (31/10/2020).

Bahkan di UU Nomor 5 Tahun disebutkan terorisme itu merupakan suatu kejahatan. Karena itu, pendekatan yang harus dilakukan dalam menangani tindak terorisme itu ialah pendekatan penegakkan hukum.

Jika memang militer dilibatkan dalam penanganan terorisme untuk melakukan penangkapan atau mendobrak tempat persembunyian para teroris, pelaksanaannya pun harus tetap ada pada koridor hukum. Itu prinsip yang harus dipegang dalam melibatkan TNI.

 

Menurut Asyaad, Ada UU Nomor 34 Pasal 7, pengerahan kekuatan militer dalam rangka OMSP itu harus berdasarkan keputusan politik. Itu adalah keputusan presiden setelah berkonsul dengan DPR. Ini tak boleh kita langkahi, “ucapnya.

Bahwa draf Perpres itu mendapatkan banyak reaksi dari karena ada beberapa klausul yang keluar atau tidak konsisten dengan UU Nomor 5 Tahun 2018. Misalnya, di draft Perpres ada istilah penangkalan.

Asyaad mengatakan bahwa,” Penangkalan tidak dikenal dalam UU Nomor 5 itu dan penangkalan ini bisa dijabarkan secara luas tidak jelas. ini yang dikhawatirkan,” katanya.

“Di TNI kita belum berlaku ini bahwa kesalahan di dalam lingkup peradilan umum mereka tetap peradilan militer. Ini yang masih mengganjal civil society kalau saya baca itu resolusi mereka,” ujarnya.

Selanjutnya berdasarkan pengalaman 12 tahun menangani masalah terorisme, masyarakat sipil selalu keberatan karena melihat resiko terjadinya impunitas terhadap aparat militer. Impunitas yang terjadi jika mereka melakukan kesalahan.

Dikesempatan yang sama pula, menurut Peneliti dan aktivis Marapi Beni Sukadis, MSos menyatakan bahwa dalam supremasi sipil ada pemisahan yang jelas antara otoritas politik dan otoritas pelaksana di mana militer harus tunduk pada supremasi sipil.

Menurutnya, Pejabat sipil terpilih adalah pengemban tanggungjawab membuat kebijakan dan keputusan mengenai keamanan.

Dalam Penjabaran “Amanat UU34/2004 menegaskan bahwa TNI menjalankan tugasnya sesuai kebijakan dan keputusan politik negara sehingga dalam melaksanakan operasi militer selain perang (OMSP) keterlibatan TNI merupakan perbantuan dan bukan tugas pokok,” ujarnya.

Beni menambahkan bahwa, Hukum yang berlaku juga menegaskan penanganan terorisme menggunakan pendekatan pidana dan bukan perang.

Beni mengatakan, bahwa fungsi penangkalan TNI dalam keterlibatannya dalam kontra terorisme adalah rancu dan berpotensi bertabrakan dengan upaya penegakan hukum oleh institusi-institusi penegakan hukum sipil yang ada,”jelasnya.

(Larty)

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *